ContohKasus Pelanggaran HAM di Indonesia: Peristiwa Kudatuli 1996. Hakikat HAM & Pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1966-1998. Jenis Pelanggaran HAM: Contoh Genosida & Kejahatan Kemanusiaan. Keesokan harinya, pada 11 September 1984, beberapa warga meminta bantuan tokoh masyarakat setempat yakni Amir Biki untuk menyelesaikan permasalahan ini. Perbedaankedua dari Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc adalah dari sifat kedua pengadilan yang dibentuk tersebut. Memang keduanya merupakan Pengadilan yang dibentuk dan didasarkan pada UU No. 26 Tahun 2000 tentang peradilan HAM yang diberlakukan di Indonesia. Namun dari landasan hukum tersebut pula dapat dilihat sifat dari kedua PeristiwaTanjung Priok terjadi pada September 1984. Dalam peristiwa ini, diperkirakan jatuh korban tewas hingga mencapai lebih kurang 400 orang. Melalui pengadilan HAM Ad Hoc, 15 September 2003 sampai dengan Agustus 2004 lalu, para terdakwa dinyatakan bebas. pFZO. 20 Agustus 2004JAKARTA Pengadilan HAM Ad hoc untuk kasus Tandjung Priok menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara kepada Kapten Sutrisno Mascung karena terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat yang mengakibatkan tewasnya 24 orang. Hakim ketua Andi Samsan Nganro dalam persidangan itu juga menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada 11 tentara anak buah Kapten Sutrisno Mascung yang terlibat dalam peristiwa Tandjung Priok 1984. Selain masing-masing mendapat hukuman dua tahun penjara kesebelas tentara itu juga harus membayar uang sebesar satu juta 15 rupiah sebagai kompensasi untuk para korban. Sebelumnya Kapten Sutrisno Mascung dituntut hukuman sepuluh tahun penjara. Sampai saat ini pemerintah dinilai belum menjalankan kewajibannya memberikan keadilan bagi korban. Sejumlah korban dan keluarga korban tragedi Tanjung Priok 1984 mendesak agar pemerintah memenuhi rasa keadilan bagi korban. Pasalnya, hal itu tetap tak terpenuhi walau pengadilan HAM ad hoc sudah diselenggarakan. Karena majelis di tingkat banding dan kasasi membebaskan para pelaku. Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan KontraS, Yati Andriyani mengatakan pemerintah tetap harus bertanggungjawab atas peristiwa yang terjadi tepat 28 tahun silam itu. Karena dalam kasus pelanggaran HAM berat, tidak dikenal istilah kadaluarsa. Apalagi lewat hasil penyelidikan yang pernah dilakukan Komnas HAM, kasus Tanjung Priok dikategorikan pelanggaran HAM berat. Dalam persidangan pengadilan HAM ad hoc kasus Tanjung Priok, Yati menilai terdapat banyak kejanggalan. Pasalnya, hakim di pengadilan menyatakan terdapat pelanggaran HAM berat dan menimbulkan korban tapi tidak ada pelaku. Yati melihat ada indikasi kuat penyuapan terhadap saksi korban agar mengubah kesaksiannya di pengadilan. Atas dasar itulah Yati berpendapat kasus Tanjung Priok belum dituntaskan negara. “Kami beranggapan kasus Tanjung Priok belum ada penyelesaian oleh negara, semua yang dilakukan sampai saat ini hanya formalitas yang belum memberikan rasa keadilan bagi korban,” kata dia dalam jumpa pers di kantor KontraS Jakarta, Rabu 12/9. Pada saat yang sama salah seorang korban, Aminatun, mengatakan ketidakmampuan institusi pengadilan menghadirkan keadilan bagi korban bukan berarti negara melepas tanggung jawab. Menurutnya, rasa keadilan, fakta kebenaran dan pemulihan harus diupayakan negara melalui otoritas politik yang dimiliki pemerintah. Langkah itu menurut Aminatun sudah diupayakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono SBY dengan memerintahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Menkopolhukam, Djoko Suyanto untuk mencari format penyelesaian terbaik untuk kasus pelangaran HAM berat masa lalu. Atas dasar itu dibentuk tim kecil yang dikomandoi Menkopolhukam untuk melaksanakan perintah presiden tersebut. Sayangnya, sejak tim kecil dibentuk pada Mei 2011, sampai saat ini belum ada hasil yang diketahui para korban atas kerja-kerja yang telah dilakukan tim tersebut. Padahal, Menkopolhukam pernah menemui perwakilan korban dan berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Tanjung Priok. Jakarta - Korban dan keluarga korban tragedi Tanjung Priok meminta negara mengevaluasi pengadilan HAM ad hoc kasus Tanjung Priok. Para keluarga korban menuntut keadilan kepada pemerintah. Selama ini mereka selalu diabaikan."Kami mendesak kepada negara untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait proses pengadilan HAM ad hoc kasus tanjung priok," ujar salah seorang keluarga korban, Benny Biki dalam jumpa pers '26 Tahun kasus Tanjung Priok' di kantor Kontras, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa 14/9/2010.Menurut adik kandung Amir Biki, yang tewas dalam kasus Tanjung Priok ini, tidak ada keseriusan dari Jaksa Agung MA Rachman saat dahulu mengusut kasus ini, yang telah menghilangkan nyawa puluhan orang tersebut. "Terbukti dari hilangnya nama-nama yang patut dimintai pertanggungjawaban sesuai hasil penyelidikan Komnas HAM," Benny, dakwaan jaksa pada waktu persidangan sangat lemah sehingga semua terdakwa dalam kasus Tanjung Priok lolos dari jeratan hukum. Atas alasan itu, dia pun meminta agar calon Jaksa Agung nanti berasal dari jaksa non karir."Melihat kenyataan ini, kami menginginkan jabatan Jaksa Agung tidak diberikan kepada jaksa karir karena tidak bisa menangani perkara kasus pelanggaran HAM berat," Agung yang berasal dari karir dinilai tidak mampu berbuat apa-apa, malah menurut Benny, akan menjadi penghambat dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. "Harapan kami agar kasus Priok bisa dibuka kembali dengan adanya Jaksa Agung yang baru dari luar internal Kejaksaan Agung," melanjutkan, kesepakatan Islah yang sudah dilakukan oleh pelaku dan korban tidak serta merta menggugurkan kandungan pidana yang terjadi pada kasus Tanjung Priok."Lagipula kita tidak tahu harus memaafkan siapa karena tidak ada yang mengaku sebagai pelaku da dalang dari kejadian tersebut," katanya. fiq/ndr