TamanNasional Gunung Leuser adalah kawasan konservasi alam di Sumatera. Kawasan seluas lebih dari satu juta hektare ini berada di wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Dengan wilayah yang luas dalam sistem zonasi, tempat ini bisa jadi surga rekreasi alam bebas. Hutan, gunung, hingga pantai bisa dijumpai dalam satu kawasan yang sama. Tamannasional ini meliputi ekosistem asli dari pantai sampai pegunungan tinggi yang diliputi oleh hutan lebat khas hujan tropis. Dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Gunung Leuser memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu: KawasanEkosistem Leuser (KEL) yang terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser dan Hutan Lindung serta Hutan Masyarakat merupakan Warisan Dunia yang telah ditetapkan oleh UNESCO Dasar Hukum Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No 811/Kpts/UM/1980 dengan luas 792.675 ha. Berwisatamemandikan gajah menjadi daya tarik wisatawan saat menikmati pesona keindahan Ekowisata Tangkahan yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera utara. Suasana Hutan Leuser dengan pemandangan alam yang dipenuhi pepohonan rimbun yang berada di Desa Tangkahan menjadi area perlintasan para gajah jika mencari Permasalahanyang timbul adalah berdasarkan larvanya, spesies kupu-kupu apa sajakah yang terdapat di hutan Evergreen TN. Baluran, berapa indeks keanekaragaman jenis dan hostplant apakah yang paling disukai oleh kupu-kupu tersebut? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis kupu-kupu di hutan Evergreen TN. Daridefinisi dan penjelasan tentang kawasan hutan, terdapat unsur-unsur meliputi: 1. Suatu wilayah tertentu. 2. Terdapat hutan atau tidak terdapat hutan. 3. Ditetapkan pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan. 4. Didasarkan pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat. 1200m - 1800 m = Hutan montane bawah ( Tumbuhan oak, paku-pakis, orkid ) 1800 m - 2900 m =Hutan montane atas ( Tumbuhan epifit, periuk kera, konifer ) 2900 m - 3500 m = Tumbuh-tumbuhan sub-alps. 3500 dan ke atas = Tumbuh-tumbuhan alps. · Hutan gunung terdapat di kawasan yang ketinggiannya melebihi 1,200 meter dari aras laut. SHARENOW. Berwisata memandikan gajah menjadi daya tarik wisatawan saat menikmati pesona keindahan Ekowisata Tangkahan yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera utara. Suasana Hutan Leuser dengan pemandangan alam yang dipenuhi pepohonan rimbun yang berada di Desa Tangkahan menjadi area perlintasan para gajah jika HutanGunung Leuser sangatlah lebat, seperti hutan pantai dan hutan hujan tropika. Di dalamnya terdapat beberapa sungai, danau, sumber air panas, lembah, dan air terjun. Ekosistem di dalamnya terdapat dataran rendah (pantai) hingga pegunungan. Hampirseluruh bagian dari taman nasional ini didominasi dengan hutan, yang menyimpan tumbuhan-tumbuhan langka khas Gunung Leuser seperti Anggrek Tanah, Kantong Semar, tumbuhan ara, tumbuhan pencekik, tumbuhan daun payung raksasa bahkan wisatawan bisa menemukan bunga raflesia yang merupakan bunga terbesar didunia ini. Gar2. Gloria Samantha Pembangunan pemukiman baru di sekitar hutan Leuser di Aceh Tenggara, yang diakomodir dalam RTRW Aceh - Taman Nasional Gunung Leuser TNGL menurut Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada 2014 memiliki luas sebesar hektar yang meliputi 5 kabupaten di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Hutan ini menjadi habitat bagi flora dan fauna yang dilindungi seperti bunga raflesia, anggrek sepatu, orangutan, badak sumatera, harimau sumatera, dan siamang. Namun, hingga 2019, taman nasional tersebut kehilangan hektar luas hutannya. Melansir dari Mongabay, fenomena pengurangan luas hutan di TNGL disebabkan oleh penebangan liar oleh masyarakat sekitar-baik untuk pembalakan kayu maupun untuk perkebunan. Baca Juga Sembuhkan Lingkungan Laut, Para Ilmuwan Punya Rencana Dalam 30 Tahun Fenomena ini tambah berisiko ketika musim kemarau tiba, saat pemilik perkebunan mengalami kekurangan air. Hal tersebut akan mengakibatkan masyarakat di sekitar TNGL menjadikan kebun ilegal, sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Tenggara. “Hal yang sering terjadi, saat ada masyarakat membuka lahan, mereka tidak dilarang atau ditindak. Namun, saat masyarakat mulai menanam atau hampir panen, baru ada penertiban yang tentunya menimbulkan perlawanan,” terang Samsul bahri, warga Kutacane yang bekerja sebagai petani perkebunan. Pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser BBTNGL, Sudiro, mengatakan bahwa kegiatan pembalakan hutan ilegal sering terjadi, tapi petugas BBTNGL juga beberapa kali melakukan penertiban. Sudiro mengakui bahwa maraknya pembalakan liar disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya hutan TNGL. “Kurangnya pemahaman masyarakat menjadi penyebab terjadinya kegiatan ilegal. Namun, kami tetap berupaya memberikan pengertian,” terangnya. Baca Juga Pegunungan Himalaya Terlihat Dari India, Pertama Kalinya dalam Beberapa Dekade Isu ini juga tidak luput dari pandangan Walhi Aceh yang pernah mendesak untuk pihak setempat untuk menindak kegiatan pembalakan liar. “Aktivitas ini terus terjadi, membuktikan pengamanan dan pengawasan hutan belum maksima. Polda Aceh harus melakukan penindakkan sehingga kayu-kayu dari TNGL tidak lagi ditebang,” kata Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur. Ia juga menambahkan bawah pembalakan liar di hutan sekitar TNGL tidak bisa dicegah jika pihak TNGL dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh bekerja sendirian. Perlu adanya upaya gabungan dengan pihak lainnya. “Pengamanan harus benar-benar dilakukan sehingga kegiatan ilegal tidak lagi terjadi,” katanya. PROMOTED CONTENT Video Pilihan - Taman Nasional Gunung Leuser TNGL merupakan salah satu taman nasional di Indonesia yang sudah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia. Taman Nasional Gunung Leuser berada di Provinsi Aceh yang luasnya mencapai hektare. Luas Taman Nasional Gunung Leuser itu secara administratif mencakup sejumlah kabupaten di Aceh dan Sumatera juga Mengenal 6 Taman Nasional Indonesia yang Ditetapkan Sebagai Situs Warisan Dunia Di Aceh wilayahnya mencakup Kabupaten Subulussalam, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Bener Meriah, dan Aceh Temiang. Sedangkan di Sumatera Utara wilayah Taman Nasional Gunung Leuser mencakup Kabupaten Dairi, Karo, dan Langkat. Sejarah Taman Nasional Gunung Leuser Taman Nasional Gunung Leuser atau yang disingkat TNGL sebenarnya sudah dijadikan sebagai pusat penelitian hayati sejak masa Hindia Belanda. Awalnya pad atahun 1927, pemimpin lokal Aceh meminta pemerintah kolonial untuk melindungi kawasan di Lembah Alas. Tahun 1928, datang lagi usulan agar Belanda melindungi kawasan Singkil bagian selatan, hingga sepanjang Bukit Barisan, dan Rawa Pantai Meulaboh di utara. Kemudian pada tanggal 6 Februari 1934, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menandatangani Deklarasi Tapaktuan. Pada 3 Juli 1934, Hindia Belanda menetapkan Suaka Alam Gunung Leuser dengan luas hektare. Tahun 1935, Belanda menetapkan Suaka Margasatwa Kluet yang luasnya mencapai hektare. Suaka Margasatwa Sekundur lantas ditetapkan pada 1938 dengan luas hektare. Pada 1976, pemerintah Indonesia menambah suaka margasatwa baru yaitu Suaka Margasatwa Kappu dengan luas hektare. Lalu pada 6 Maret 1980, Indonesia menjadikan satu kawasan-kawasan tersebut sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional Gunung Leuser. Flora dan Fauna di Taman Nasional Gunung Leuser Shutterstock/Mazur Orangutan Sumatera menjadi salah satu spesies yang dilindungi di Taman Nasional Gunung LeuserTaman Nasional Gunung Leuser memiliki tipe ekosistem yang sangat beragam, mulai dari hutan pantai, rawa, hutan dataran rendah, hingga pegununga subalpine. Kawasan Ekosistem Leuser di kawasan ini mencapai 2,2 juta hektare, yang mmeiliki hulu 10 sungai utama di Aceh. Dari kondisi tersebut, Taman Nasional Gunung Leuser memiliki dan melestarikan beraneka ragam flora dan fauna langka. Flora di Taman Nasional Gunung Leuser erat hubungannya dengan flora di Semenanjung Malaysia, Kalimantan, Jawa, bahkan terdapat jenis flora di Taman Nasional Gunung Leuser ini. Kawasan ini juga memiliki tumbuhan langka dan khas, seperti daun payung raksasa, bunga raflesia, hingga Rhizanthes zippelnii yang merupakan bunga terbesar dengan diameter 1,5 meter. Selain itu, terdapat tumbuhan yang unik yaitu ara atau tumbuhan pencekik. Sementara fauna di Taman Nasional Gunung Leuser berupa mamalia, burung, reptil, amfibi, ikan, dan invertebrata. Sebanyak 65 persen dari 129 spesies mamalia besar dan kecil di Sumatera terdapat di Taman Nasional Gunung Leuser ini. Empat spesies yang menjadi satwa kunci di taman nasional ini adalah Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, Orangutan Sumatera, dan Badak Sumatera. Baca juga Taman Nasional Meru Betiri Lokasi, Flora dan Fauna, hingga Tempat Wisata di Dalamnya Tempat Wisata di Taman Nasional Gunung Leuser Taman Nasional Gunung Leuser sangat cocok untuk dijadikan destinasi wisata edukasi. Selain menikmati keindahan alamnya, pengunjung juga bisa sekaligus belajar tentang keanekaragaman hayati di kawasan ini. Beberapa destinasi wisata di kawasan ini antara lain Sungai Alas Sungai ini bisa dijadikan wahana untuk arum jeram bagi para pengunjung. Aliran sungai ini cukup deras menuju Kabupaten Aceh Selatan. Di tepian sungai terdapat kawasan penduduk yang masih tradisional. Hutan Rekreasi Gurah Keindahan alam dan berbagai jenis flora, danau, air terjun, sumber air panas tersaji di hutan rekreasi ini. Pengelola juga telah menyediakan trek khusus bagi pengunjung yang tertarik melakukan trekking. Pengunjung juga dapat menikmati keindahan alam, bahkan melakukan kemah di kawasan hutan. Lau Pengurukan Lau Pengurukan sangat cocok bagi pengunjung yang suka menyusuri gua alam. Di kawasan ini, terdapat banyak gua seperti Gua Pintu Air, Gua Pintu Anfin, Guan Palonglong, Gua Patu, Gua Pasa, Gua Rizak, Gua Pamuite dan Gua Pasugi. Sumber Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. “c’est parti mon kiki,” kata Romy Sahbudin Putra, sang pemandu. Ucapan dalam bahasa Perancis ini kerap terdengar kala perjalanan saya bersama Tim Hutan Itu Indonesia, membelah zona penyangga Taman Nasional Gunung Leuser Leuser, Agustus lalu. Kata itu, dalam bahasa Inggris, dapat diartikan sebagai let’s go–Ayo berangkat! Kata itu diucapkan bak jadi penyemangat. Asal muasal kata ini dari salah satu anggota perjalanan kami, Yoan Mocano, turis asal Perancis. Yoan, salah satu dari sekian banyak wisatawan mancanegara yang saya temui saat menikmati keindahan Leuser. ”Hutan Indonesia itu unik, hutan hujan tropis, saya sangat senang datang khusus menjelajah hutan. Tahun lalu, saya ke Kalimantan,” katanya saat ditanya alasan berlibur ke Leuser. Benar sekali ucapan Yoan. Saya begitu menikmati saat menjelajah Leuser– hutan tropis terbesar di Indonesia ini. Udara segar, pemandangan indah dengan kekayaan keragaman hayati dan mata air nan jernih tiada henti mengalir. Kedondong hutan. Keragaman hayati nan kaya di Taman Nasional Gunung Leuser, baik flora dan fauna. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Keterancaman Saat menikmati sore hari di pinggir Sungai Lawe Gurah, Romy menceritakan keterikatan dia dengan Leuser. Sejak usia sembilan tahun, pria kelahiran Desa Ketambe ini sudah menjelajah Leuser ikut sang kakek. Jiwa petualang, belajar dari alam, maupun menjaga hutan turun temurun di keluarga Romy. Hidupnya memang di alam. Kicauan burung maupun suara binatang lain hingga mesin chain saw gergaji mesin pembalak liar biasa dia dengar. ”Waktu itu, saya lagi memandu wisatawan asing, dengar chain saw. Mereka membawa kayu melewati kita dan burung yang dalam sangkar,” katanya. Kala itu, ketiga anak sang wisatawan berusia lima tahun, 9 tahun dan 15 tahun, menangis. Mereka takut dan sedih melihat hutan mendapat perlakuan seperti itu. Kala itu, awal 2000-an. ”Dia marah mengapa sudah membayar Simaksi, tapi hutan tak dilindungi,” katanya. Romy pun terpukul. Miris. Betapa orang yang jauh-jauh datang demi menikmati alam nan indah, sementara mereka yang berada lebih dekat, malah merusak. Romy pun bertekad menjaga hutan. Dia kuliah di Fakultas Kehutanan di Banda Aceh. “Ancaman TNGL saat ini dari perusahaan-perusahaan. Sawit selalu menang daripada kehutanan dan masyarakat,” katanya. Alasan ekonomi, kata Romy, seringkali jadi pertimbangan para pihak berwenang. Mungkin bagi mereka, menumbangkan pepohonan di hutan atau babat hutan demi pebisnis, lebih memberikan keuntungan dibandingkan menjaga hutan beserta keragaman di dalamnya. “Itu salah.” Dia bilang, alam terjaga bisa memberikan manfaat melimpah bagi manusia. Orangutan Sumatera, salah satu satwa kunci di TN Gunung Leuser. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Romy contohkan, potensi besar ekonomi dari ekowisata, seperti tempat penginapan, pemandu dan paket wisata arung jeram Sungai Alas dan banyak lagi. Teuku Yaknana Johan, pemilik Wisma Cinta Alam di Ketambe, juga ayah Romy mengatakan, dengan mengelola tempat penginapan, bisa menghidupi keluarga dan membiayai sekolah anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Dia mulai terjun ke dunia wisata sejak usia 15 tahun. Hobi arung jeram mengawali debut Johan sebagai pemandu arung jeram. Dia juga memandu melihat satwa liar. Johan berpesan, tak menyia-nyiakan masa muda dengan hal tak berguna, seperti berpesta dan pergi ke mal. Banyak satwa dan tumbuhan kekayaan alam negeri ini yang bisa dinikmati, seperti Leuser. Keunikan Leuser, kawasan ini punya empat satwa kunci, harimau, gajah, orangutan dan badak Sumatera. Wisma Cinta Alam sejak 1986, beberapa tahun setelah peresmian Leuser. Pada 80-an, banyak wisatawan mancanegara datang ke Ketambe untuk melihat orangutan. Kala itu, orangtua Johan membangun penginapan di situ. “Tahun 90-an kami sempat kolaps. Baru 2007, saya mulai bangun wisma ini kembali karena potensi wisata makin baik,” kata Johan. Romy menambahkan, kalau mau bertemu satwa-satwa itu lama waktu kunjung berbeda-beda. Untuk melihat orangutan, katanya, perlu 1-2 hari perjalanan, gajah enam hari, harimau 10 hari, dan badak 14 hari. ”Habitat mereka mulai terancam, jangan sampai makin kritis dan anak cucu hanya mendengar cerita, seperti cerita dinosaurus,” katanya. Pemandangan sekitar TN Gunung Leuser dari penginapan Wisma Cinta Alam di Desa Ketambe, Aceh Tenggara. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia *** Desa Ketambe, satu desa di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, yang berbatasan langsung dengan Leuser. Kala membuka jendela kamar tempat peristirahatan kami, tampak dari kejauhan perbukitan di Leuser, penuh kabut. Hari itu, 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia. Perasaan saya campur aduk. Ada rasa kagum, bangga dengan keindahan alam Leuser. Sisi lain, khawatir akan keberlanjutan pelestarian alam Leuser ini. Pukul kami siap jelajah Leuser. Kami memulai dengan mencari jalan memecah ilalang-ilalang yang menutupi jalan setapak, menaiki bukit dengan sekeliling perkebunan nenas masyarakat. Sampai kira-kira sekitar 500 meter, kami sudah berada di perbatasan antara Desa Ketambe dengan Leuser. “Batas Taman Nasional Gunung Leuser,” begitu plang berwarna kuning terpampang pada sebuah pohon, berpagar besi berduri. Satu per satu kami melompat ke sana. Dari situ, kami sudah bisa melihat Sungai Alas. Sungai yang biasa disebut dengan Lawe Alas, terletak dekat penginapan kami. Ia , sungai terpanjang di Aceh yang melintasi Leuser dan mengalir sampai ke Samudera Hindia. Hutan masih alami, berbeda dengan jalur jelajah taman nasional yang biasa saya datangi di Pulau Jawa. Hampir saya tak pernah menemukan sampah sepanjang perjalanan. Suara rangkong, monyet kedih biasa dikenal dengan Thomas leaf monkey menyambut kedatangan kami. Monyet dengan nama latin Presbytis thomasi ini merupakan spesies endemik Aceh dan masuk dalam kategori rentan oleh IUCN Red List. Kuncup bunga Rhizanthes lowii di Taman Nasional Gunung Leuser. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Tengah perjalanan menuju tempat berkemah, kami beruntung melihat orangutan Sumatera Pongo abelii betina sedang menggendong anaknya. Dia bergelayutan dari satu ranting ke ranting lain. Berpindah dari satu pohon ke pohon lain. ”Kalian beruntung bisa melihat orangutan hari pertama,” kata Romy. Agustus, bukan musim buah. Kalau mau melihat orangutan biasa harus berjalan lebih jauh. Tanpa disangka, dalam perjalanan tiga hari dua malam, kami melihat tiga kali orangutan. Kami pun menyaksikan bersama dengan wisatawan mancanegara mulai dari anak-anak hingga dewasa. Kami melihat, bak pertunjukkan baik melalui mata telanjang, kamera handphone maupun kamera digital. Kami berpindah mengikuti orangutan kala mereka berpindah, sampai sudah tak lagi kelihatan. Orang utan seringkali muncul saat kami mengamati pucuk pohon. Bila ada yang bergoyang, kemungkinan ada satwa di sana. Bahkan dari tempat kami berkemah, orangutan sempat menyebrang sungai dengan bergelayutan di pohon. Tepian Sungai Gurah, jadi penginapan kelas mewah yang pernah saya inapi seumur hidup. Betapa tidak. Beristirahat sambil menikmati hutan, batu-batuan besar, air jernih, dan berarus sedang. Kita bisa berenang dan bermain air di sana. Selama perjalanan, kami sering mendengar suara beruang madu, owi, trogon, sunbird juga siamang black gibbon. Suara mereka bak lagu alami yang tiada henti mengiringi langkah kaki yang bersentuhan dengan dedaunan. Dekat tempat berkemah, kami pun menemukan salah satu jenis bunga bangkai, Rhizanthes lowii. “Masih satu keluarga dengan tumbuhan Rafflesia. Bentuknya bulat berwarna merah merona. Akan menghitam ketika kekurangan cadangan air.” Bunga itu ditemukan saat mulai menjauh dari sungai. Air terjun di TN Gunung Leuser. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Dalam perjalanan itu, kamipun sering menemukan jamur-jamuran dan tumbuhan liana. Liana ini sangatlah bermanfaat bagi orangutan. “Ia sumber pakan dan sarana penopang pergerakan pindah tempat maupun istirahat,” begitu penjelasan Tatang Mitra Setia dalam jurnal Peran Liana dalam Kehidupan Orangutan. Bentuk melilit atau bergelantungan pada pohon besar– satu ciri hutan hujan tropis. Sekitar 90% liana berada di hutan tropis. Bahkan di Hutan Ketambe, diketahui pada 2009 sekitar 13,55% berupa liana. Bagi saya, begitu banyak manfaat dalam perjalanan tiga hari dua malam di Leuser. Saya belajar bahwa kayu pinus dengan wewangian khas itu ternyata mengandung minyak. “Tidak semua kayu pinus bisa, hanya endemik Aceh. Kalau kita buat api unggun, kita tak memerlukan minyak,” katanya. Ada juga flora unik lain seperti buah beberut. Bentuk bulat seperti terong hijau, warna menguning saat matang dan siap santap. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Mungkin ini kata yang tepat untuk perjalanan kami ini. Sekali pergi, banyak hal kami lihat dan nikmati. Antara lain, permandian air panas Lawe Gurah, bak jacuzzi pool yang ada di Leuser. Di satu aliran sungai ini, kita bisa berlarian dari air panas, hangat atau dingin, sesuai selera. Nikmatnya… Jacuzzi pool ala di Taman Nasional Leuser inipun jadi bonus terakhir perjalanan kami sebelum kembali ke desa. Rasa lelah seperti terbayar tuntas dengan menikmati keindahan Leuser yang tiada tara. Berharap Leuser terus lestari. Jacuzzi pool, permandian pencampuran antara air panas dari dalam bumi dengan air terjun yang mengalir. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Liana melilit dan bergelantungan pada pohon besar. Liana ini sangatlah bermanfaat bagi orangutan sebagai sumber pakan dan penopang dalam pergerakan pindah tempat dan istirahat. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Artikel yang diterbitkan oleh aceh, Deforestasi, featured, Hidupan Liar, Hutan Hujan, hutan indonesia, hutan konservasi, hutan lindung, Hutan Rakyat, kerusakan lingkungan, Masyarakat Adat, Perubahan Iklim, Satwa, sumatera