Bukhari 1411) Begitu juga sebuah batu dan pohon pun mencintai Rasulullah dan member salam kepada beliau, Rasulullah bersabda: إني لأعرف حجرا بمكة كان يسلم علي قبل أن أبعث و إني لأعرفه الآن. “Sesungguhnya aku mengetahui ada sebuah batu di Makkah yang member salam kepadaku sebelum aku diutus Apalagisejak tahun 1882 didirikan pengadilan agama di Jawa Barat dan Madura. Dan deklarasi bahwa Indonesia merupakan negara yang berdasarkan kepada ketuhanan YME dinyatakan dalam pasal 29 UUD 1945 sebagai penjabaran dari Pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu, sebagai salah satu disiplin ilmu maka hukum Islam dipelajari secara ilmiah oleh berbagai 37 Dan pedihnya siksa membuat mereka berteriak di dalam neraka itu untuk memohon kepada Allah, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari neraka ini, niscaya kami akan mengerjakan kebajikan, yang berlain 35:37, 35 37, 35-37, Surah Faathir 37, Tafsir surat Faathir 37, Quran AlFathir 37, Al-Fathir 37, Fatir 37, Surah Al Fathir ayat 37, # الْيَوْمَأُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ. “Pada hari ini, dihalalkan bagimu segala yang baik-baik.”. Ketika Allah ﷻ menyebutkan kenikmatan pada hari ini, yaitu hari Arafah. Di dalam ayat ini Allah ﷻ menghalalkan perkara-perkara baik, di antaranya adalah dua kenikmatan yang penting: makanan dan pernikahan Bersaksilahlaa ilaaha illa Allah, Muhammadur Rasulullah sebelum beliau memenggal lehermu!” Akhirnya Abu Sufyan-pun masuk Islam dan memberikan kesaksian yang benar. Tanggal 17 Ramadhan 8 H, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam meninggalkan Marra Dzahran menuju Makkah. TafsirSurat Yasin Ayat 12. Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh). [Yasin : 12]. Ayat yang tertera di atas, masih ada hubungannya dengan ayat sebelumnya yang Sesungguhnyadia harus berbalik untuk beriman kepada Kristus dan diselamatkan dari kedudukannya yang tanpa pengharapan. Menaklukkan Segala Pikiran kepada Kristus -- Pelajaran 11 Pembelaan Iman (1) [Indeks 00000] PELAJARAN 11 PEMBELAAN IMAN (1) [Daftar Isi 00004] 00059 A. Sanggahan-sanggahan Berkenaan dengan Allah. 00059 1. Subscribe ke Lampu Islam: Donasi: https://kitabisa.com/dakwahlampuislamTOPIKUstad Nouman Ali Khan memberikan nasihat BacaJuga: Hindarilah Tidur Telanjang Bulat, Perilaku Ceroboh Ini Mengakibatkan Kamu Jadi Fakir. Maka ini yang perlu menjadi perhatian oleh para suami. Karena bahagianya rumah tangga terletak pada kebahagiaan istri. Jika suami bisa memenuhi kebutuhan istri dan keluarga maka insya Allah ini akan menjadi salah satu sebab keluarga menjadi sakinah PelajaranDari Hadis. 1. Di antara jenis tawasul yang disyariatkan: bertawasul kepada Allah dengan amal saleh yang dilakukan dengan ikhlas. 2. Keikhlasan merupakan sebab dihilangkannya kesulitan; yaitu masing-masing mereka berkata, “Ya Allah! Bila aku melakukannya karena menginginkan rida-Mu, maka bukalah dari kami kesulitan yang menimpa kami iQCGp4w. Allah subhanahu wa ta'ala selalu memberikan Cobaan sebelum memberi peringatan dan mendahulukan peringatan sebelum mmemberikan Solusi Oleh Ustaz Rokhmat S. Labib, TAFSIR AL-QUR’AN – Allah Swt. berfirman, * كِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى * سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى * وَيَتَجَنَّبُهَا الأشْقَى * الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى * ثُمَّ لا يَمُوتُ فِيهَا وَلا يَحْيَا * “Oleh sebab itu, sampaikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat. Orang yang takut kepada Allah akan mendapat pelajaran. Orang-orang yang celaka kafir akan menjauhinya. Itulah orang yang akan memasuki api yang besar neraka, kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak pula hidup.” QS al-A’la [87] 9-11 Ayat ini memerintahkan Rasulullah saw. untuk menyampaikan peringatan kepada manusia. Respons mereka pun terbagi menjadi dua yang menerima dan yang menolak. Respons itu pun menentukan nasib mereka. Tafsir Ayat Allah Swt. berfirman, “Fadzakkir in nafa’ati adz-dzikrâ Oleh sebab itu sampaikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat.” Khithâb ayat ini juga ditujukan kepada Rasulullah saw. Menurut az-Zuhaili, kata at-tadzkîr bermakna mengingatkan manusia pada sesuatu yang sebelumnya telah diketahui, lalu dilupakan.[1] Kata ini bisa juga tidak mengingatkan dari perkara yang terlupakan, namun berguna untuk melanggengkan ingatan.[2] Masih menurut az-Zuhaili, yang dimaksud ayat ini adalah menyampaikan peringatan dan nasihat dengan Al-Qur’an.[3] Penjelasan yang sama juga dikemukakan al-Baghawi dan al-Khazin, yang memaknai frasa tersebut, “Nasihatilah dengan Al-Qur’ân.”[4] Imam al-Qurthubi juga berkata, “Nasihatilah kaummu dengan Al-Qur’an, wahai Muhammad.”[5] Asy-Syaukani menafsirkan ayat ini juga dengan pernyataan, “Sampaikanlah nasihat dengan apa yang Kami wahyukan kepada engkau, wahai Muhammad. Bimbinglah mereka kepada kebaikan dan tunjukilah mereka pada syariat-syariat agama.”[6] Perintah tersebut diiringi dengan firman-Nya, “In nafa’ati adz-dzikrâ jika peringatan itu bermanfaat.” Secara lahiriah, ayat ini memberikan pemahaman bahwa seolah-olah peringatan itu hanya diperintahkan apabila dapat memberikan manfaat. Jika tidak, maka peringatan itu tidak perlu diberikan. Pemahaman tersebut tentu tidak benar. Dikatakan al-Jurjani, memberikan peringatan itu wajib sekalipun tidak memberikan manfaat.[7] Kesimpulan tersebut amat tepat mengingat Rasulullah saw. adalah rasul untuk manusia lihat QS Saba’ [34] 28, al-A’raf [7] 158. Objek yang harus diberikan peringatan oleh beliau adalah seluruh manusia. Selain itu, sebelum peringatan diberikan kepada seseorang, tentu belum diketahui apakah peringatan tersebut akan bermanfaat atau tidak. Orang yang diduga menerima justru menolak. Sebaliknya, dikira menolak justru menerima. Oleh karena itu, sebelum peringatan disampaikan, tidak bisa dipastikan respons seseorang. Jika demikian, bagaimana memahami frasa, “in nafa’ati adz-dzikrâ itu? Menurut al-Wahidi ayat ini mengandung makna in naf’at aw lam tanfa’ jika bermanfaat atau tidak bermanfaat.” Hanya saja, frasa terakhir, yakni “aw lam tanfa’ atau tidak bermanfaat” tersebut tidak disebutkan. Penjelasan lainnya, huruf in jika tidak selalu memberikan makna syarat yang meniadakan perkara yang dipersyaratkan ketika syaratnya tidak ada. Ini terdapat dalam beberapa ayat, seperti firman Allah Swt., فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا “Tidaklah mengapa kalian men-qashar shalatmu jika kalian takut diserang orang-orang kafir.” QS al-Nisa’ [4] 101. Meskipun disebutkan “in khiftum jika kamu takut”, salat qashar bagi musafir boleh dilakukan, baik ketika dalam keadaan takut diserang orang-orang kafir maupun tidak. Demikian juga firman QS al-Baqarah [2] yang membolehkan suami merujuk istri yang telah ditalak tiga kali dan sudah dinikahi laki-laki lain. Meskipun disebutkan “in zhanna an yuqîmû hudûdul-Lâh jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah“, perbuatan tersebut boleh dilakukan meski tidak ada dugaan tersebut.[8] Ada pula yang memaknai huruf in tersebut sebagai sebab atas manfaat dari peringatan tersebut. Ini sebagaimana makna in dalam ungkapan “Qad awdhahtu laka in kunta ta’qilu Sungguh aku telah menjelaskan kepada kamu agar kamu paham.” Artinya, yang dimaksud adalah menjadi sebab atas manfaat yang diterima dari peringatan tersebut.[9] Dengan demikian frasa tersebut memberikan makna bahwa peringatan itu diperintahkan agar dapat memberikan manfaat, baik bagi orang yang diberi peringatan maupun yang menyampaikan peringatan itu. Ada pula aspek lain yang dipahami Ibnu Katsir dari ayat ini. Menurut Ibn Katsir, dari ayat ini dapat diambil adab dalam menyebarkan ilmu; bahwa ilmu tidak diberikan kepada orang yang tidak memiliki kelayakan. Ini sebagaimana dikatakan Amirul Mukminin Ali ra, “Tidaklah kamu berbicara dengan suatu kaum tentang sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal mereka, kecuali menjadi fitnah bagi sebagian mereka.” Beliau juga berkata “Berbicaralah dengan apa yang mereka ketahui. Apakah kamu menyukai Allah dan Rasul-Nya didustakan?” [10] Ketika Rasulullah saw. diperintahkan untuk menyampaikan peringatan kepada semua orang, kemudian diterangkan tentang orang-orang yang menerima dan menolaknya, serta orang-orang yang mendapatkan manfaat dan yang justru mendapatkan kecelakaan. Allah Swt. berfirman, “Sayadzdzakkaru man yakhsyâ Orang yang takut [kepada Allah] akan mendapat pelajaran.” Menurut al-Asfahani, kata “al-khasy-yâh” berarti khawf takut yang disertai dengan ta’zhîm sikap hormat dan memuliakan. Sikap tersebut kebanyakan didasarkan oleh pengetahuan tentang zat yang ditakuti tersebut. Oleh karena itu, sikap itu dikhususkan kepada ulama dalam firman-Nya إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” QS Fathir [35] 28.[11] Karena “khasy-yah” merupakan ketakutan yang disertai dengan sikap hormat, maka dalam Al-Qur’an sikap itu hanya ditujukan kepada Allah Swt. Lihat QS [51] 33; al-Kahfi [18] 80; al-Baqarah [2] 150; an-Nisa’ [4] 77; al-Ahzab [33] 39; an-Nisa’ [4] 9; dan lain-lain. Itu pula makna yang terkandung dalam ayat ini. Dijelaskan Ibnu Katsir, “man yakhsyâ” dalam ayat ini berarti orang-orang yang takut kepada Allah dan meyakini perjumpaan dengan-Nya.[12] Tak jauh berbeda, al-Qurthubi juga menafsirkan kalimat ini sebagai orang yang bertakwa dan takut kepada Allah.[13] Ibnu Jarir ath-Thabari juga berkata, “Orang yang takut kepada Allah SWT dan hukuman-Nya.”[14] Orang-orang yang takut kepada Allah Swt. itulah yang mengambil peringatan dan nasihat yang diberikan Rasulullah saw. Dalam ayat ini disebutkan, “Sayadzakkaru.” Artinya, “dia akan menerima nasihatmu.”[15] Dikatakan oleh az-Zamakhsyari, orang yang takut kepada Allah dan buruknya akibat itu lalu mempertimbangkan dan memikirkannya. Pertimbangannya itu kemudian membimbing dia untuk mengikuti kebenaran.[16] Atas pilihannya itu mereka mendapatkan as-sa’âdah kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dikatakan oleh al-Biqa’i, “al-khasy-yah” rasa takut itu membawa pelakunya pada setiap kebaikan hingga hatinya merasa nikmat; dibalas dengan surga yang tinggi, dan hidup dengan kehidupan yang baik, tanpa ditimpa kesakitan dan kesusahan, kekal abadi tanpa akhir dan tanpa ujung.[17] Kemudian diberitakan tentang sikap orang yang sebaliknya, “Wa yatajannbuhâ al-asyqâ Orang-orang yang celaka kafir akan menjauhinya.” Jika yang disebutkan sebelumnya mau menerima peringatan dan mengambil nasihat yang disampaikan Rasulullah saw., maka mereka justru menjauhinya. Jika yang sebelumnya takut kepada Allah, maka mereka ini berani kepada Allah. Mereka pun mendapatkan balasan atas tindakan mereka. Dalam ayat ini disebut sebagai “al-asyqâ orang yang paling celaka.” Dikatakan al-Alusi, mereka adalah orang kafir yang terus dan tetap dalam pengingkarannya terhadap Hari Kiamat dan semacamnya. [18] Kata “al-asyqâ” merupakan bentuk at-tafdhîl dari kata asy-syaqiyy orang yang celaka. Mereka dinyatakan sebagai al-asyqâ orang yang paling celaka lantaran menerima azab yang amat besar. Azab tersebut diberitakan dalam ayat selanjutnya, “al-ladzî yashlâ an-nâr al-kubrâ [yaitu] orang yang akan memasuki api yang besar [neraka].” Pengertian “al-kubrâ” di sini adalah al-azhîmah wa al-fazhî’ah yang besar dan mengerikan. Dikatakan demikian karena panasnya lebih besar dan dahsyat daripada api dunia.[19] Menurut al-Hasan, an-nâr al-kubrâ adalah neraka akhirat. Adapun yang sughrâ yang kecil adalah neraka dunia. Sebagian mufasir mengatakan, semua neraka adalah neraka akhirat meskipun bertingkat-tingkat kerasnya. Ada neraka yang lebih besar daripada neraka lainnya. Dikatakan al-Farra’, “al-kubrâ” adalah tingkatan neraka yang paling bawah.[20] Kemudian Allah Swt. berfirman, “Tsuma lâ yamûtu fîhâ wa lâ yahyâ kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak [pula] hidup.” Di dalam neraka itu mereka tidak mati dan tidak hidup. Mereka tidak mati sehingga dapat beristirahat dari azab; juga tidak hidup dengan kehidupan yang memberi dirinya manfaat.[21] Itulah siksa yang diterima oleh orang-orang yang menolak dan menyingkirkan peringatan Allah Swt. Mereka harus menghadapi siksaan yang besar atas tindakan lancang dan durhaka mereka terhadap Penciptanya, Allah Swt. Respons Manusia terhadap Peringatan Terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil dari ayat-ayat ini. Pertama perintah untuk menyampaikan peringatan kepada manusia. Perintah ini ditujukan kepada Rasulullah saw. Hal ini dengan jelas disebutkan dalam kalimat, “Fadzakkir berikanlah peringatan.” Menyampaikan peringatan dan nasehat merupakan tugas yang harus diemban Rasulullah saw. dan seluruh Rasul lainnya. Bahkan ini merupakan tugas utama seorang Nabi dan Rasul, termasuk beliau Lihat QS al-Ghasyiyah [88] 21. Patut dicatat, meskipun perintah dalam ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw., perintah tersebut juga berlaku bagi umatnya. Sebab, selama tidak ada dalil yang mengkhususkan khithab itu hanya ditujukan untuk beliau, maka khithab itu berlaku umum. Demikian pula ayat ini. Apalagi sebagaimana dijelaskan para mufasir, pengertian ayat tersebut adalah memberikan peringatan dan nasihat dengan Al-Qur’an, apa yang diwahyukan kepada Rasulullah saw., dan syariat agamanya. Perbuatan tersebut jelas diperintahkan kendati dilakukan dalam beberapa ungkapan dalam Al-Qur’an, seperti berdakwah dan mengajak manusia pada Islam lihat QS an-Nahl [16] 125, Fushilat [41] 33, melakukan amar makruf nahi mungkar lihat QS Ali Imran [3] 110, 114; at-Taubah [9] 71, menyampaikan wasiat kebenaran dan kesabaran kepada manusia QS al-Ashr [103] 30, dan lain-lain. Tentu saja, dalam detail dan fokusnya terdapat perbedaan-perbedaan. Namun, sasaran yang dituju adalah menjadikan manusia terikat dan mengamalkan syariat. Kedua kemungkinan sikap manusia terhadap peringatan yang diberikan. Sikap manusia ada dua kemungkinan 1 menerima dan mengambil peringatan itu sebagai pelajaran; 2 menolak dan menjauhinya. Sikap tersebut bisa terjadi lantaran beliau hanya diberi kewenangan memberikan peringatan, tidak diberi kewenangan untuk memaksa mereka harus menerima peringatan itu Lihat QS Qaf [51] 45. Meskipun tidak dipaksa, seharusnya manusia memilih sikap pertama, yakni menerima peringatan dari Allah Swt. Peringatan itu jelas demi kebaikan manusia ketika di dunia, kehidupannya mendapat limpahan berkah; di akhirat dia dimasukkan ke dalam surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan. Sebaliknya, tidak ada satu pun alasan yang bisa digunakan untuk mendukung pilihan kedua, yakni menolak dan menjauhi peringatan dari Allah Swt. Sebab, siapa pun yang menolak perintah itu hidupnya akan sesat dan ditimpa dengan kesengsaraan. Di akhirat kelak lebih celaka lagi. Siksaan amat dahsyat di “an-nâr al-kubrâ” neraka yang besar akan ditimpakan kepada dirinya. Demikian dahsyatnya sehingga membuat penghuninya tidak bisa hidup dan tidak pula mati. Karena itu, orang yang berakal dan menggunakan akalnya dengan benar niscaya akan memilih sikap yang pertama, yakni menerima peringatan dan nasihat itu Lihat QS al-Baqarah [2] 269; Ali Imran [3] 7. Ayat ini juga mengajari kita bahwa sebaik dan sebenar apa pun sebuah peringatan, dua kemungkinan itu selalu terjadi. Dengan demikian, adanya penolakan dari sebagian manusia terhadap sebuah ide, tidak menandakan bahwa ide itu salah. Tidak pula menunjukkan orang menyampaikannya keliru. Ini juga yang terjadi pada Islam. Tidak ada satu pun agama, pemikiran, dan ideologi yang dapat menandingi Islam. Yang menyampaikan juga manusia pilihan, Rasulullah saw. Meskipun demikian, tetap saja ada manusia yang menolak dan mengingkari, bahkan memusuhi Islam. Realitas ini harus menyadarkan para pengemban dakwah bahwa dakwahnya tidak selalu disambut dengan senyum ramah dan tangan terbuka. Sebaliknya, kadang justru dakwahnya mengundang penolakan dari objek dakwah. Menghadapi realitas tersebut, pengemban dakwah tidak boleh kecil hati, apalagi surut langkah dan berputus asa. Dia harus tetap teguh dan bersabar dalam menyampaikan dakwah. Jangankan manusia biasa, Rasulullah saw. dan para nabi lainnya pun pernah mendapatkan perlakuan serupa. Allah Swt. berfirman, وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا “Sesungguhnya telah didustakan pula para rasul sebelum kamu, tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan yang dilakukan terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka.” QS al-An’am [6] 34. Semoga kita selalu menerima peringatan dan mengambil nasihat dari Rasulullah saw. Semoga kita pun bisa meneladani beliau menyampaikan peringatan dan nasihat kepada seluruh manusia dengan risalah yang diturunkan kepada beliau, Islam. Sebaliknya, semoga kita tidak termasuk orang yang menolak peringatan dan mendapatkan ancaman siksa neraka. WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[MNews/Rgl] Referensi [1] Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 Damaskus Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998, 194. [2] Al-Ashfahani, Al-Mufradât Gharîb al-Qurân Damaskus Dar al-Qalam, 1992, 328 [3] Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 194. [4] Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qurân, vol. 5 Beirut Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, 1420 H, 241; Al-Khazin, Lubâb at-Tawîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995, 418. [5] Al -Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, vol. 20 Kairo Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964, 20. [6] Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 Damaskus Dar Ibn Katsir, 1994, 515. [7] Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 515. [8] Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 Beirut Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1420 H, 132-133. [9] Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 133. [10] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, vol. 8 Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999, 372. [11] Al-Ashfahani, Al-Mufradât Gharîb al-Qurân, 282. [12] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, vol. 8, 372. [13] Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, vol. 20, 20. [14] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Tawîl al-Qurân, vol. 24 tt Muassasah al-Risalah, 2000, 372. [15] Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 516. [16] Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 Beirut Dar al-Kitab al-Arabi, 1987, 740. [17] Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 21 Kairo Dar al-Kitab al-Islami, tt, 399. [18] Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995, 320. [19] Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 242. [20] Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003, 470; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, vol. 20, 20. [21] Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, vol. 20, 20; lihat juga al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 242. Facebook Notice for EU! You need to login to view and post FB Comments! Taman Islam ilustrasi. Tafsir Surat Al-Isra Ayat 16 Peringatan Allah Sebelum Suatu Negeri Dibinasakan JAKARTA - Jika suatu negeri sudah layak untuk dibinasakan karena perbuatan dosa penghuni negeri itu sudah melampaui batas. Maka Alquran mengingatkan orang-orang yang hidup bermewah-mewahan yakni para pemimpin negeri itu agar mentaati Allah SWT, peringatan itu disampaikan untuk memberi mereka kesempatan bertaubat sebelum mereka dibinasakan. Hal ini dijelaskan dalam Surat Al-Isra Ayat 16 dan اَرَدْنَآ اَنْ نُّهْلِكَ قَرْيَةً اَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنٰهَا تَدْمِيْرًا Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu agar menaati Allah, tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam negeri itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan hukuman Kami, kemudian Kami binasakan sama sekali negeri itu. QS Al-Isra 16Tafsir Kementerian Agama menerangkan dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa apabila Dia berkehendak untuk membinasakan suatu negeri, maka Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang hidup bermewah-mewah di negeri itu supaya menaati Allah. Maksudnya apabila suatu kaum telah melakukan kemaksiatan dan kejahatan secara merata dan pantas dijatuhi siksaan, maka Allah SWT karena keadilan-Nya, tidak segera menjatuhkan siksaan sebelum memberikan peringatan kepada para pemimpin mereka untuk menghentikan kemaksiatan dan kejahatan kaumnya dan segera kembali taat kepada ajaran tetapi, dari sejarah kita mengetahui orang-orang yang jauh dari hidayah Allah tidak mau mendengarkan peringatan itu, bahkan mereka menjadi pembangkang dan penentang Allah. Allah lalu memusnahkan mereka dari muka bumi dengan berbagai azab, baik berupa bencana alam, maupun bencana-bencana ketentuan Allah yang tak dapat dielakkan. Allah menghancurkan negeri itu sehancur-hancurnya, sehingga tidak ada sedikit pun yang tersisa, baik rumah-rumah maupun harta kekayaan mereka.